Redaksi   2024/04/12 23:43 WIB
Kolom Opini

Lebaran Sudah Tradisi 'Mendarah Daging' Bagi Masyarakat Indonesia

IDUL FITRI tak hanya perjalanan spiritual menuju fitrah, publik juga memaknai Lebaran dengan realitas persoalan yang menyertainya.

Masyarakat Indonesia merayakan hari raya Idul Fitri 1445 Hjiriyah Tahun 2024. Lebaran telah menjadi tradisi yang mendarah daging bagi masyarakat Indonesia.

Meskipun sejatinya merupakan perayaan hari raya agama Islam, tradisi merayakan Idul Fitri ternyata dipersepsikan oleh publik sebagai milik seluruh warga Indonesia terlepas dari latar belakang agamanya.

Sebagian masyarakat mengungkapkan bahwa perayaan Lebaran adalah tradisi untuk semua masyarakat tanpa memandang latar belakang status agamanya.

Inklusivitas ragam ekspresi Idul Fitri tampaknya memiliki andil penting di balik hal itu. Ini terlihat Lebaran dengan tradisi yang inklusif dan menembus sekat-sekat agama.

Sebagian lagi mengaku, kumpul keluarga besar adalah hal pertama yang tebersit di benak ketika mendengar kata ”Lebaran”. Sebagian lagi melekatkan Lebaran dengan mudik atau pulang ke kampung halaman.

Setali dengan itu masyarakat menganggap silaturahmi sebagai ihwal yang paling lekat dengan perayaan Lebaran.

Lebaran sangat melekat dengan konsep pulang ke kampung halaman untuk berkumpul bersama keluarga di daerah asal.

Menurut Guru Besar Pengkajian Islam Universitas Pendidikan Indonesia Abd Majid dalam artikelnya, Mudik Lebaran (2013), pandangan seperti itu tak bisa dilepaskan dari budaya bangsa Indonesia yang sangat menghargai sistem kekerabatan.

Peleburan praktik kebudayaan seperti inilah yang membuat Idul Fitri banyak dipersepsikan sebagai milik semua warga Indonesia.

Lekatnya mudik dan keluarga juga berkaitan dengan gagasan mengenai ”asal” dalam khazanah kebudayaan Indonesia.

Sebagaimana pernah disampaikan Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra, tradisi Lebaran, seperti mudik, kumpul keluarga besar, dan bersilaturahmi, adalah pengejawantahan itikad manusia untuk kembali pada akar tradisi tempatnya berasal.

Dorongan untuk kembali ke asal tak bisa dipisahkan dari arti Idul Fitri itu sendiri.

Menurut Direktur Eksekutif Aliansi Indonesia Damai Hasibullah Satrawi, Idul Fitri dalam bahasa Arab memiliki dimensi kembali ke fitrah. Adapun fitrah bisa dimaknai sebagai sifat asal yang suci dan bersih.

Kembali ke keluarga, kembali ke fitrah

Sinergi antara nilai kekerabatan dalam budaya bangsa dan ajaran agama lantas membuat fitrah kerap disimbolkan dalam rupa keluarga di daerah asal.

Inilah mengapa berjuta warga Indonesia berduyun-duyun melakukan perjalanan mudik menjelang Lebaran.

Survei Kementerian Perhubungan menunjukkan, sekitar 100,6 juta penduduk Indonesia diprediksi akan melakukan perjalanan mudik supaya dapat merayakan Idul Fitri di kampung halaman bersama keluarga terkasih.

Kaitan antara fitrah dan keluarga juga tecermin melalui hal-hal yang disukai responden saat merayakan Lebaran.

Sebagian masyarakat mengaku memfavoritkan momen berkumpul bersama keluarga saat Lebaran.

Menariknya, kesukaan berkumpul bersama keluarga tidak hanya terbatas pada mereka yang masih hidup di dunia ini saja.

Ini tergambar dari adanya 9,3 persen responden yang melakukan kegiatan ziarah ke makam para leluhur sewaktu Lebaran.

Semangat mencapai kembali fitrah saat Idul Fitri semakin muncul ketika ada yang menyebutkan menyukai kegiatan silaturahmi dengan keluarga atau kerabat.

Momen bermaaf-maafan pun akan semakin lebur dan akrab ketika menyantap hidangan spesial Lebaran, seperti ketupat, opor ayam, sambal goreng, dan semur daging.

Sebagian lagi menyatakan menantikan sajian khas seperti itu ketika merayakan Idul Fitri.

Eratnya hubungan antara Lebaran dan ikatan kekerabatan kian menguat, masyarakat juga merasa bahwa keluarga adalah orang yang dapat membuat perayaan Lebaran menjadi lebih berarti bagi mereka.

Adapun keluarga yang dimaksud adalah keluarga inti, yang hanya beranggotakan ayah, ibu, dan saudara kandung, atau keluarga besar seperti trah dalam tradisi Jawa.

Makna Lebaran di Kalangan generasi muda

Menariknya, ketika dibedah berdasarkan kategori usia, terdapat perbedaan persepsi mengenai lingkup keluarga yang bisa membantu mereka menemukan makna Idul Fitri.

Di generasi dewasa, keluarga besar tampak memainkan peran lebih besar.

Sebagian anak muda merasa Lebaran harus dirayakan dengan keluarga besar agar dapat merasakan makna Lebaran.

Sebagian lagi menganggap, Lebaran akan terasa berkesan bila dirayakan bersama keluarga besar dan inti.

Ada lagi lainnya menganggap cukup membutuhkan kehadiran keluarga inti saja untuk dapat merasakan arti Lebaran.

Gambaran ini menunjukkan bahwa anggapan keluarga besar lebih memainkan peran dalam pemaknaan Lebaran akan semakin menguat seiring bertambahnya usia.

Ketika sudah menjadi kepala keluarga dan orangtua, bisa jadi penghargaan terhadap kehadiran kerabat lain akan makin menguat.

Apalagi, seiring bertambahnya tanggung jawab dan beban hidup, seseorang mungkin semakin menyadari arti penting keluarga sebagai jaring penopang sosial.

Selain itu, dikelilingi oleh anak, cucu, dan semua kerabat lainnya tentu akan menimbulkan perasaan gembira bagi mereka yang memasuki usia senja.

Momen berkumpul bersama keluarga besar saat Idul Fitri dengan demikian dapat dimaklumi sebagai saat-saat penuh makna bagi mereka.

Tekanan psikologis dan ekonomi saat Lebaran

Di samping sisi, menarik pula untuk mencermati dimensi lain dari perayaan Lebaran.

Melalui pertanyaan mengenai hal yang tidak disukai, tecermin tekanan-tekanan yang dihadap masyarakat dalam momen Lebaran.

Seperti dengan bahan kebutuhan pokok, harga tiket transportasi pun melonjak tajam menjelang Lebaran.

Berdasarkan pemantauan melalui aplikasi agen perjalanan Traveloka, harga tiket pesawat rute Jakarta-Medan untuk tanggal 6 April 2024 mencapai Rp 4,6 juta.

Ini berarti terjadi kenaikan hingga tiga kali lipat dari masa biasa yang berkisar Rp 1 juta–Rp 1,3 juta.

Selain beban ekonomi, kegelisahan generasi dewasa saat Lebaran juga terpusat pada bayang-bayang kemacetan dan keramaian yang akan dihadapi.

Temuan ini mencerminkan adanya dua jenis tekanan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat Indonesia ketika merayakan Lebaran.

Generasi muda lebih rentan mengalami tekanan sosial berupa ekspektasi dari keluarga terkait pencapaian personal.

Sementara, generasi dewasa cenderung mengkhawatirkan tekanan ekonomi dan kelelahan akibat kepadatan yang membludak di jalan dan tempat wisata.

Pemaknaan publik terhadap Lebaran dengan demikian berkelindan di antara dua dimensi yang tak bisa dipisahkan.

Di satu sisi, publik memaknai Idul Fitri sebagai proses perjalanan spiritual untuk kembali ke fitrah, ke sifat asal yang suci.

Dalam konteks kebudayaan bangsa yang meluhurkan nilai kekerabatan, fitrah juga mewujud dalam rupa perjumpaan dengan asalnya, yaitu bertemu sanak keluarga di kampung halaman.

Sementara, di sisi yang lain, publik juga tak mengabaikan realitas kehidupan duniawi yang kerap membayangi momen perayaan Idul Fitri.

Tingginya pengeluaran akibat kenaikan harga-harga kebutuhan, lelah tak terperi karena berdesak-desakan di jalan dan angkutan umum, hingga menghadapi ekspektasi standar sosial dari kerabat jauh adalah segelintir dari berbagai macam ujian yang mesti dihadapi oleh insan yang merayakan Lebaran.

Melalui Idul Fitri, manusia bagaikan diberikan air segar di tengah kerontang kehidupan yang mampu mengingatkan betapa nikmatnya kondisi diri yang murni lagi suci.

Setelah Idul Fitri usai, manusia akhirnya selalu terpanggil untuk menemukan jalan kembali ke fitrah yang hakiki.

Sebagaimana telah diharapkan oleh sebagian masyarakat, upaya ini mungkin dapat dimulai dengan semakin menekuni hidup religius, mengamalkan setiap ajaran kebenaran, sehingga dapat lebih mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, asal muasal dari segala kehidupan ini. (*)

Tags : lebaran, mudik, jajak pendapat, utama, kilau ramadhan, kilau kemenangan, makna idul fitri,