Headline Seni Budaya   2025/04/16 20:45 WIB

Batu Prasasti Abad ke-10 dari Jawa Timur yang Bersejarah Teronggok di Halaman Bangsawan Inggris

Batu Prasasti Abad ke-10 dari Jawa Timur yang Bersejarah Teronggok di Halaman Bangsawan Inggris
Prasasti Sangguran berdiri di halaman terbuka di Skotlandia, menghadap bukit. Batu dari Jawa Timur ini telah melewati dua abad musim hujan dan salju, jauh dari tanah asalnya.

SENI BUDAYA - Sebuah batu prasasti abad ke-10 dari Jawa Timur tergeletak di taman keluarga bangsawan Inggris.

Pada permukaan Batu Minto—disebut sebagai Prasasti Sangguran di Indonesia—terukir sejarah kerajaan, kutukan berdarah, sampai makanan abad ke-10: rujak dan dodol.

Mengapa benda bersejarah ini tak kunjung dipulangkan ke Indonesia?

Batu prasasti dari Jawa Timur berangka tahun 928 Masehi itu telah teronggok lebih dari 210 tahun di halaman kediaman keluarga bangsawan Inggris, Keluarga Minto, di perbatasan Skotlandia dan Inggris.

Pada Prasasti Sangguran itu terukir pahatan aksara Jawa Kuno berisi informasi sejarah penting tentang Kerajaan Mataram Kuno dan pergeseran pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, di bawah Mpu Sindok.

Di antara baris-baris tulisan itu, terselip kutukan keras bagi siapa pun yang memindahkannya.

Kutukan ini, menurut sejumlah ilmuwan, seolah terbukti: dari Thomas Stamford Raffles—yang memerintahkan pengiriman prasasti ini untuk Lord Minto, Gubernur Jenderal India kala itu—hingga Colin Mackenzie—semuanya mengalami nasib buruk, sakit, atau meninggal dunia tak lama setelahnya.

Perdebatan soal pemulangan batu ini telah bergulir lebih dari dua dekade.

Sejumlah ilmuwan menyebut bahwa Prasasti Sangguran—sebutan resminya di Indonesia—seharusnya dipulangkan karena nilai sejarah, budaya, dan spiritualnya yang besar bagi masyarakat Jawa.

Di tanah asalnya, masyarakat adat Ngadat di sekitar Batu, Malang, menggelar upacara penghormatan setiap Agustus, sebagai bentuk penghargaan terhadap prasasti yang dianggap memiliki kekuatan sakral.

Namun sejarawan Britania, Peter Carey, menyebut prasasti itu kini "tidak dihargai sebagaimana mestinya", karena hanya diletakkan begitu saja di halaman walaupun memiliki nilai sejarah tinggi.

Sementara seorang pejabat Indonesia yang pernah mengunjungi lokasi itu pada 2006 menyebut, "Warisan kita tak terawat, miring tak jelas di halaman."

Pemerintah Indonesia awal tahun ini menyatakan akan menggencarkan kembali upaya pemulangan prasasti setelah lebih dari 20 tahun belum membuahkan hasil.

Adapun pemilik prasasti sekaligus pewaris gelar Earl of Minto, Timothy Elliot-Murray-Kynynmound, bahwa pihaknya "menyambut dengan senang hati setiap minat terhadap batu ini."

Namun Lord Minto menyebut bahwa "belum pernah ada pendekatan serius untuk memindahkan prasasti itu."

Lalu, mengapa prasasti ini tak juga kembali ke Malang, Jawa Timur, tempat asalnya?

Di antara deretan aksara Jawa Kuno yang terukir di Prasasti Sangguran, terselip kalimat-kalimat yang tak biasa: sebuah kutukan, berisi peringatan berdarah:

"Potong hidungnya, belah kepalanya, sobek perutnya, cabut ususnya, makan dagingnya, minum darahnya, dan habisi dia tanpa ampun."

Tulisan atau kutukan sakral itu lazim digunakan dalam prasasti-prasasti abad ke-10 di Jawa untuk melindungi wilayah atau benda suci.

Menurut penelitian terbaru yang diterbitkan pada Juni 2024 oleh ilmuwan Arlo Griffiths, Wayan Jarrah Sastrawan, dan Eko Bastiawan, kutukan ini bukan hanya unsur budaya, tetapi bagian dari sistem hukum dan kekuasaan spiritual masa itu.

"Kutukan dalam prasasti seperti ini dimaksudkan untuk menjaga kesucian wilayah dan menjadi peringatan bagi siapa pun yang melanggar," tulis tiga ilmuwan dari Prancis, Australia dan Indonesia itu.

Mereka yang terlibat dalam pemindahan batu ini pun tak luput dari kejadian tragis.

Colin Mackenzie, pejabat militer yang mengawasi pengangkatan batu dari Jawa, meninggal dalam perjalanan sebelum sempat memajangnya.

Gubernur jenderal di Hindia Timur pada 1811 hingga 1816, Thomas Stamford Raffles yang memerintahkan pengiriman batu ke India untuk diberikan kepada Lord Minto kehilangan empat anak, istrinya meninggal di usia muda, dan ia sendiri meninggal karena stroke pada usia 45 tahun.

Raffles dimakamkan di St. Mary's Church, Hendon, London, namun makamnya sempat tidak ditemukan selama bertahun-tahun karena gereja itu direnovasi dan sempat terbakar. Baru belakangan diketahui bahwa jenazahnya memang dimakamkan di situ.

Saat meninggal, Raffles sedang berada dalam tekanan berat, secara keuangan maupun pribadi. Semua ini kerap dikaitkan dengan "kutukan" dalam cerita seputar Prasasti Sangguran.

Bahkan Bupati Malang kala itu, Tumenggung Suradimanggala—yang konon mengizinkan pengambilan batu tersebut, dilaporkan meninggal tak lama setelah kejadian.

Nama Tumenggung Suradimanggala yang muncul dalam berbagai catatan kolonial juga disebut dalam arsip perjalanan Colin Mackenzie dan timnya saat berada di wilayah Malang pada 1812.

Kala itu, mereka melakukan survei dan inventarisasi artefak di bawah perintah Stamford Raffles.

Adam Bobbette, ahli geologi politik dari University of Glasgow, mengatakan di antara sekian banyak informasi yang terkandung dalam prasasti ini—tentang pajak, pemujaan dewa, hingga batas-batas wilayah suci—satu bagian yang menarik perhatian adalah menu makan malam.

Prasasti ini mencatat adanya pesta besar dan menu makanan rujak dan dodol termasuk di dalamnya.

Bagi Adam Bobbette, bagian ini adalah jendela kecil untuk memahami kebiasaan makan masyarakat Jawa abad ke-10.

"Ini menunjukkan ada yang tak berubah. Orang di abad ke-10 juga suka rujak dan dodol," kata Adam.

Bagi sejarawan Peter Carey, penempatan Prasasti Sangguran dan Prasasti Pucangan di Kalkuta—yang dikirim pada waktu yang bersamaan— "sangat tidak layak".

"Yang satu [Prasasti Sangguran] di taman terbuka, cuaca Skotlandia itu keras, hujan es, angin, lembap. Yang satu lagi [Prasasti Pucangan] di gudang [yang] bocor di Kalkuta. Ini prasasti sejarah besar, bukan batu biasa." kata Peter menekankan alasan lain pemulangan prasasti ini.

Menurut Adam Bobbette, pengambilan Prasasti Sangguran harus dilihat dalam konteks ambisi kolonial Inggris di abad ke-19.

Selama Perang Napoleon, British East India Company—kongsi dagang Inggris di Asia—memanfaatkan kesempatan untuk menginvasi Jawa demi menguasai kekayaan alam dan jalur perdagangan, kata Adam.

Rencana ini diatur oleh Lord Minto, Gubernur Jenderal India saat itu, yang kemudian menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai gubernur di Jawa pada 1812.

Raffles percaya bahwa jika para ilmuwan Inggris bisa mempelajari masa lalu Jawa, mereka bisa "mengajarkan" sejarah itu kepada penduduk lokal—sebuah gagasan yang paternalistik dan merendahkan, kata Adam Bobette.

Dalam surveinya, Raffles mengumpulkan artefak, menjarah manuskrip Jawa dari Kesultanan Yogyakarta, dan di kemudian hari, mengirim dua prasasti penting ke luar negeri.

Salah satu orang kepercayaan Raffles, Mayor Jenderal Colin Mackenzie, seorang peneliti peta, dikirim ke Jawa Timur.

Di kaki Gunung Arjuno-Welirang, wilayah Malang, Mackenzie menemukan sebuah batu prasasti besar, berdiri seperti pelindung di tengah desa.

Menurut catatan yang kini tersimpan di British Library dan diceritakan ulang oleh para akademisi, batu itu kemudian diangkat dan dipindahkan atas restu Bupati Malang saat itu, Tumenggung Suradimanggala.

Tujuannya untuk dijadikan hadiah istimewa bagi Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris untuk India—yang sekaligus adalah atasan langsung Raffles kala itu.

"Prasasti yang mengagumkan ini akan saya kirimkan kepada Anda sebagai tanda penghormatan..."

Tahun itu juga, Prasasti Sangguran dimuat dalam peti dan dibawa melintasi laut.

Lord Minto, yang kemudian pensiun dan kembali ke kediaman keluarganya di Skotlandia menempatkan batu itu di halaman rumahnya di kawasan Roxburghshire.

Sementara satu prasasti lainnya—Prasasti Pucangan—yang juga diambil dalam periode yang sama, dikirim ke Kalkuta di India dan kini menjadi koleksi Museum India.

"Ini bukan sekadar pemindahan fisik, tapi pemisahan memori dari tanah dan rakyatnya," ujar Adam Bobbette dalam penelitiannya tentang geologi politik di Jawa.

Kini, lebih dari 200 tahun kemudian, batu itu masih teronggok di sana.

Nilai sejarah dan spiritualitas: Kenapa harus dipulangkan?

Bagi para ahli epigrafi, arkeolog, sejarawan, dan masyarakat adat di tanah asalnya, prasasti ini adalah naskah hidup—warisan yang belum selesai diceritakan.

Ditulis pada tahun 850 Saka (928 M), prasasti ini merupakan dokumen penting dari masa kekuasaan Mpu Sindok, salah satu raja besar yang memindahkan pusat kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Menurut penelitian Arlo Griffiths, Wayan Jarrah Sastrawan, dan Eko Bastiawan, prasasti ini mencatat pemberian wilayah suci di daerah Sangguran, yang berlokasi di dekat Batu, Malang—sebuah keputusan politik dan spiritual yang menandai fase penting dalam sejarah Nusantara.

"Ini bukan sekadar prasasti tentang administrasi, tapi catatan tentang kekuasaan, peralihan geopolitik, dan pemahaman kuno tentang relasi manusia dengan alam," tulis Griffiths, Sastrawan, dan Bastiawan dalam laporan mereka yang diterbitkan pada 2024.

Tak hanya itu, prasasti ini juga mencerminkan bagaimana masyarakat Jawa abad ke-10 mengelola ruang suci, menghadapi bencana alam, dan mengukuhkan wilayah melalui ritual dan kutukan sakral.

Bagus Muljadi, dosen di bidang teknik kimia dan lingkungan di University of Nottingham, serta inisiator kemitraan ilmiah Indonesia–Inggris, melihat Prasasti Sangguran bukan hanya sebagai peninggalan sejarah, tapi juga sebagai titik temu antara geologi, sejarah, dan geopolitik Indonesia.

Ia bersama Adam Bobbette menggagas seminar internasional "Inscriptions on the Move" di Glasgow pada 2023, untuk mengangkat nilai ilmiah prasasti ini di mata komunitas akademik global.

"Penting untuk membawa kembali prasasti ini karena kekuatannya bukan hanya simbolik, tetapi juga saintifik," ujar Bagus Muljadi, akademisi Indonesia yang berbasis di Inggris dan terlibat dalam proyek penelitian lintas negara mengenai prasasti ini.

"Batu ini adalah jendela pengetahuan, dari sejarah kerajaan, perubahan iklim, hingga bencana alam," tambahnya.

Di tanah asalnya, masyarakat adat Ngadat di Batu, Malang, masih merawat hubungan spiritual dengan prasasti ini, menurut sejumlah laporan lokal dan juga disebut dalam studi terbaru oleh Arlo Griffiths, Wayan Jarrah Sastrawan, dan Eko Bastiawan (2024).

Setiap Agustus, mereka mengadakan upacara penghormatan untuk mengenang kekuatan simbolik prasasti yang hilang itu.

Dalam upacara ini, warga membawa sesajen, membacakan doa-doa leluhur, dan menyampaikan harapan agar batu warisan itu bisa kembali ke tempat asalnya.

Prasasti Sangguran bagi mereka bukan sekadar artefak sejarah, tetapi bagian dari identitas dan keseimbangan spiritual desa.

Bagi sejumlah ilmuwan seperti Adam Bobbette dan Bagus Muljadi, repatriasi bukan hanya sebagai langkah moral, tapi juga sebagai bagian dari diplomasi pengetahuan antara Indonesia dan dunia.

"Ini bagian dari membangun masa depan berbasis pengetahuan. Pemulangan batu itu bukan soal dendam kolonial, tapi soal membangun kembali relasi yang setara," kata Adam Bobbette.

"Dengan nilai sejarah, budaya, spiritual, dan geopolitik yang begitu besar, Prasasti Sangguran adalah milik tanah yang melahirkannya," tambahnya.

Adam adalah penulis buku The Pulse of the Earth, yang membahas geologi politik di Jawa dan memasukkan Prasasti Sangguran dalam narasinya.

Buku ini baru-baru ini memenangkan Harry J. Benda Prize dari Association for Asian Studies (USA)—penghargaan bergengsi untuk buku pertama terbaik di bidang kajian Asia.

Batu itu masih berdiri di sebuah halaman pekarangan di desa kecil bernama Minto, dekat kota Hawick di perbatasan Inggris dan Skotlandia.

Tak banyak yang tahu keberadaannya. Tak ada plakat, tak ada penjaga.

Sebagian besar orang yang tinggal di sekitar mungkin tak tahu bahwa batu setinggi dua meter itu berasal dari sebuah kerajaan kuno di Jawa Timur.

Sejak pertama kali diletakkan di halaman itu oleh Gilbert Elliot, Earl of Minto pertama, prasasti itu tak pernah dipindahkan, melewati musim dingin berat dan pergantian generasi.

Upaya pemulangan memang pernah dibahas, bahkan sempat menyentuh isu harga.

"Dulu sempat disebut angka £70.000 (sekitar Rp1,4 miliar dalam nilai tukar saat ini)," ungkap sejarawan Peter Carey, yang mengikuti langsung perkembangan diplomasi artefak Indonesia sejak awal 2000-an.

"Tapi itu sangat tidak layak. Ini perampasan kolonial. Tidak seharusnya ada uang yang dibayarkan kepada keluarga. Jangan ulang itu lagi." kata ilmuwan dari Universitas Oxford itu.

Pada 2006, delegasi dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di London mengunjungi lokasi prasasti tersebut.

Salah satu anggota delegasi, Pribadi Sutiono—yang kini menjabat Duta Besar Indonesia untuk Slovakia—menyebut "batu warisan kita tidak terawat".

"Teronggok di halaman, miring tak jelas," ujarnya.

Lord Minto saat ini, Timothy Elliot-Murray-Kynynmound, Earl of Minto ke-7,membenarkan kunjungan itu.

"Benar bahwa pemerintah Indonesia mengirim delegasi untuk melihat Batu tersebut pada 2006 dan kami dengan senang hati menyambut mereka di Minto," tulisnya.

Ia menambahkan bahwa pengunjung memang tidak banyak, "namun selalu disambut dengan hangat, dan selama bertahun-tahun telah ada ketertarikan akademik dari berbagai kalangan terhadap batu yang dianggap sebagai benda sejarah penting itu."

Pada 2014, dua abad sejak batu itu dikirim ke Skotlandia, ada kontak lanjutan.

"Namun tidak ada tindak lanjut konkret dari komunikasi itu," kata Lord Minto.

Ia juga menambahkan bahwa, "belum pernah ada pendekatan serius untuk memindahkannya".

"Keluarga Minto menyambut dengan senang hati setiap minat terhadap batu ini." katanya lagi.

Bagi ilmuwan seperti Adam Bobbette dan Bagus Muljadi, pemulangan prasasti ini adalah bagian dari "diplomasi pengetahuan dan pembangunan pascakolonial."

Tetapi Bagus Mulyadi menyatakan pendekatan diplomasi ini sulit berhasil dan tidak bisa "mengandalkan negara".

"Pendekatan diplomatik selama ini sering gagal karena tak dilandasi argumen saintifik," katanya.

"Prasasti seperti Sangguran seharusnya jadi subjek riset aktif lintas disiplin, bukan hanya simbol dekolonisasi."

"Masyarakat sipil dan diaspora akademik juga harus bergerak, seperti yang kita lakukan dalam proyek ini. Repatriasi harus dibawa ke ruang publik, bukan hanya di meja diplomasi," tambah Bagus.

Ia menekankan bahwa jika publik dan komunitas ilmiah bersuara, batu ini dapat kembali bukan karena rasa kasihan, tapi karena alasan yang tak terbantahkan.

"Restitusi ini bisa menjadi bagian dari transformasi sains Indonesia menuju masyarakat berbasis pengetahuan."

Setelah konferensi internasional pertama digelar di Glasgow pada 2023, para akademisi tengah menyiapkan forum lanjutan pada 2026.

Konferensi mendatang, menurut Bagus, akan melibatkan pemangku kebijakan dengan tiga tujuan besar: pemulangan prasasti, pendanaan riset jangka panjang, dan perumusan cetak biru (blueprint) diplomasi sains Indonesia.

Kementerian Kebudayaan menyatakan bahwa saat ini mereka masih menyusun strategi pemulangan Prasasti Sangguran dan sedang melakukan berbagai kajian serta advokasi, termasuk menjalin komunikasi dengan jejaring kementerian di Inggris dan pihak keluarga Minto.

Namun, hingga saat ini, belum ada pendekatan resmi dalam bentuk surat kepada keluarga Minto.

Pihak kementerian juga menyebut sejumlah hambatan seperti belum adanya payung hukum antara Indonesia dan Inggris terkait repatriasi, serta belum adanya kebijakan khusus dari pemerintah Inggris mengenai restitusi benda budaya.

Komunikasi dengan keluarga Minto juga disebut sebagai tantangan tersendiri yang membutuhkan pendekatan diplomatik melalui berbagai saluran.

Selain Prasasti Sangguran, Kementerian Kebudayaan mencatat sejumlah artefak lain milik Indonesia yang kini berada di Inggris, seperti Prasasti Wangwang Bangen, Prasasti Sobhamerta, serta sejumlah benda budaya dari Keraton Yogyakarta.

Kajian terhadap artefak-artefak tersebut juga tengah dilakukan oleh tim repatriasi.

Tetapi sejarawan Peter Carey menegaskan, waktu untuk "mengkaji" sudah terlalu lama.

"Pada dasarnya, sekarang bola ada di tangan Pemerintah Indonesia. Jika ingin tindak lanjut yang diperlukan adalah keahlian, kewenangan, dan ketegasan. Tanpa itu, inisiatif ini tidak akan ke mana-mana," ujarnya. (*)

Tags : batu prasasti, batu abad ke-10 dari Jawa Timur, batu prasasti bersejarahbatu bersejarah di halaman bangsawan inggris, arkeologi, sejarah, seni budaya ,