Headline Artikel   2021/11/07 20:11 WIB

Menatap Bumi Lancang Kuning, LMR: 'Kalau Nahkoda Kurang Paham, Alamat Kapal akan Tenggelam'

Menatap Bumi Lancang Kuning, LMR: 'Kalau Nahkoda Kurang Paham, Alamat Kapal akan Tenggelam'
H Darmawi Werdana Zalik Aris, Ketua Lembaga Melayu Riau [LMR]

LANCANG Kuning berlayar malam. Haluan menuju ke lautan dalam. Kalau nahkoda kuranglah paham. Alamat kapal akan tenggelam. Lancang kuning menentang badai. Tali kemudi berpilit tiga.

Seperti itu pula pantun yang disampaikan H Darmawi Zalik Aris Werdana, Ketua Lembaga Melayu Riau [LMR] yang disebutkannya sangat populer di Riau, khususnya masyarakat Melayu.

"Filosofi dari baitnya mengisahkan bagaimana pemimpin (nakhoda) mengarungi lautan agar kapal (lancang) yang digambarkan sebagai pemerintahan tak karam," sebutnya melalui Whats APP [WA], tadi Minggu (7/11).

Dia mengakui tak mengetahui dengan jelas pencipta pantun itu. Namun, sebutnya lagi, Lancang Kuning tetap abadi karena disematkan sebagai sebutan untuk Riau.

Memang diakuinya, begitu mendengar kata Lancang Kuning orang tertuju ke daerah yang berada di timur Pulau Sumatra.

"Tak diketahui pasti sejak kapan Riau disebut sebagai negeri atau bumi Lancang Kuning."

"Begitupun siapa orang pertama yang memberi gelar ke daerah yang dulunya ada kerajaan Melayu penguasa Selat Malaka ini," kata Darmawi.

Tetapi Almarhum budayawan Riau, Tenas Effendy, dalam sebuah tulisannya berjudul Lancang Kuning pernah menyinggung kenapa Riau diberi gelar dengan sebutan itu.

Dia menyebut sebutan Lancang Kuning sebagai tanda kegemilangan Riau sebagai daerah. Menurut Tenas, Lancang berarti kapal besar yang biasa digunakan raja-raja mengarungi lautan.

Tetapi Darmawi kembali mengkisahkan, Kapal Lancang Kuning tanda komando armada perang di lautan yang dikendalikan laksamana ataupun raja.

Sementara Kuning sendiri merupakan warna kebesaran dalam tradisi Melayu. Kuning selalu ditemukan dalam berbagai upacara, pakaian, riasan dan baju kebesaran petinggi adat, meski dipadu dengan warna lain.

Lancang atau kapal sangat akrab dengan masyarakat rumpun Melayu. Dengan ragam kerajaannya, misalnya Lingga di Kepulauan Riau atau Siak serta Indragiri di Riau, rumpun Melayu membentang dari laut China hingga Selat Malaka, cerita Darmawi yang kelahiran Bengkalis ini.

Menurutnya, Lancang disebut sebagai pemersatu antar pulau-pulau dalam bentangan rumpun Melayu. Lancang juga mempermudah raja berpindah ke suatu daerah yang menjadi kekuasaannya.

"Lancang Kuning menandakan Riau sebagai kerajaan Melayu sangat menguasai maritim," sebutnya.

Di sisi lain, Lancang Kuning juga menggambarkan kejelian pemimpin dalam memerintah daerah. "Makanya dalam pantun itu ada kalimat 'berlayar malam, kalau nahkoda kuranglah paham, alamat kapal akan tenggelam'," terangnya.

Berlayar pada malam hari tentu saja berbeda dengan siang, kata Darmawi. Nahkoda pada siang hari berpedoman pada matahari sehingga semua orang bisa melakukannya. Berbeda dengan malam karena nakhoda harus paham arah angin dan membaca bintang.

Tidak semua orang bisa membaca bintang. Makanya diperlukan nakhoda lihai untuk membawa kapal besar dalam sebuah lautan yang luas atau pemimpin bijaksana menjalankan pemerintah.

"Dengan demikian, pemimpin yang paham tentang seluk beluk daerah menjadi syarat mutlak bagi Riau."

Dia juga memastikan, sebuah kapal dalam berlayar pasti bertemu badai. "Makanya ada kalimat "Lancang kuning menentang badai, tali kemudi berpilit tiga," ujarnya.

Menurut Darmawi, kalimat tersebut saling berkaitan. Di mana ada masalah, di situ pula ada cara seorang pemimpin menyelesaikan. Apakah dengan sesuka hati atau melibatkan unsur lain (berpilit tiga).

Dalam berbagai literatur, pilit tiga dalam Melayu terdiri dari tiga unsur, yaitu umara (cerdik pandai atau bisa saja perdana menteri), tetua adat dan terakhir ulama atau orang paham agama.

Karena Melayu sarat dengan nilai-nilai Islam, posisi ulama menempati posisi paling atas. Ketiga unsur itu menjadi syarat bagi raja dalam mengambil keputusan ketika menghadapi permasalahan.

Pertimbangan ketiga unsur ini kemudian menjadi konstitusi. Menjadi aturan bagi raja dalam menjalankan pemerintahan agar tidak melenceng dan berakibat merugikan rakyat.

"Makanya dalam pantun yang kemudian digubah menjadi lagu itu, ditambahkan bait "selamatlah kapal menuju pantai, pelautlah pulang dengan gembira". (*)

Tags : Menatap Hari di Bumi Lancang Kuning, Lancang Kuning, Riau, Simbol Riau Kapal Lancang Kuning,