Sorotan   2023/06/27 17:42 WIB

Perusahaan Sawit di Tanah Air akan di Audit Tetapi Masih ‘Diragukan’, 'karena akan Berujung pada Penindakan Hukum Terhadap Mafia Sawit'

Perusahaan Sawit di Tanah Air akan di Audit Tetapi Masih ‘Diragukan’, 'karena akan Berujung pada Penindakan Hukum Terhadap Mafia Sawit'
Perusahaan sawit akan di audit.

"Ada desakan untuk mengaudit seluruh perusahaan sawit yang didukung oleh serikat petani, aktivis lingkungan, hingga pengusaha setelah lama dianggap 'lalai' mengawasi sektor ini"

encana Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, untuk mengaudit seluruh perusahaan sawit didukung oleh serikat petani, aktivis lingkungan, namun masih diragukan karena akan berujung pada penindakan hukum terhadap mafia sawit.

Tetapi menurut pandangan aktivis Yayasan Sahabat Alam Rimba [SALAMBA], perusahaan sawit memang harus lapor dan bayar denda, agar pajak dari kebun sawit yang terlanjur dikawasan hutan harus dibayar untuk menambah pendapatan negara.

"Kami tidak setuju bila lahan tersebut di putihkan, itu bukan solusi, namun bila untuk pinjam pakai kawasan hutan kita memaklumi nya," kata Ir Ganda Mora M.Si, Pendiri Yayasan Salamba menyikapi wacana pemerintah untuk melakukan audit ini, dalam pemaparannya disampaikan melalui Whats App [WA], Senin (26/6).

Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit [SPKS], Mansuetus Darto, mengatakan audit diharapkan akan membongkar perkebunan sawit yang belum memiliki hak guna usaha [HGU], tidak memenuhi kewajiban membangun plasma untuk masyarakat, hingga yang menggarap lahan di luar izin yang ditentukan pemerintah.

Mansuetus Darto juga ragu hasil audit ini akan ditindaklanjuti dengan penegakan hukum yang menimbulkan efek jera, lantaran evaluasi maupun audit yang pernah dilakukan sebelumnya "tidak ditindaklanjuti" oleh pemerintah.

"Audit yang dilakukan Pak Luhut ini seperti apa modelnya? Apakah betul itu akan dilakukan secara serius oleh pemerintah, mengingat selama ini penegakan hukum tidak berjalan maksimal," kata Darto kepada media, Kamis (26/5) lalu.

Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh aktivis lingkungan dari Yayasan SALAMBA, yang mengaku "pesimistis" bahwa aparat penegak hukum "mau berhadapan dengan kejahatan korporasi yang dilakukan oleh aktor-aktor besar".

Namun audit ini, menurut Ganda menjadi momentum untuk mewujudkan transparansi data pengelolaan sawit, sehingga pengawasan dari masyarakat akan potensi pelanggaran dan penyalahgunaan Hak Guna Usaha [HGU] di masa depan bisa berjalan.

Luhut sebelumnya menyatakan akan mengaudit seluruh perusahaan sawit di Indonesia. Audit itu akan mencakup luas dari Hak Guna Usaha perkebunan kelapa sawit, hak pengelolaan lahan, sistem produksi, hingga status dari perusahaan.

Dia ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo untuk menangani isu minyak goreng, setelah pemerintah memutuskan membuka kembali ekspor minyak sawit mentah [CPO] yang sempat dilarang demi menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri.

Luhut menyatakan akan mengatasi persoalan ini dari hulunya. Dia juga menyoroti perusahaan sawit yang berkantor pusat di luar negeri, sehingga menghilangkan potensi pendapatan negara dari pajak.

Tetapi sejauh ini, Luhut belum menjelaskan lebih lanjut mengenai mekanisme dari audit ini.

Namun Juru Bicara [Jubir] Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Jodi Mahardi, serta Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan, Septian Hario Septo, untuk meminta tanggapan terkait hal ini, namun tidak mendapat respons hingga berita ini diterbitkan.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa [PKB] dari Komisi IV yang membidangi kehutanan, Daniel Johan, menyatakan DPR akan mengawasi proses audit agar transparan dan ditindaklanjuti dengan kebijakan yang tegas.

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia [GAPKI] menyatakan "siap untuk diaudit".

Momentum memperbaiki tata kelola sawit

Padahal, keterbukaan data, kata Ganda Mora menyebutkan bisa memperkuat pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang kerap kali meminggirkan masyarakat adat dan petani kecil.

Ganda Mora berharap hasil audit nantinya diikuti dengan penegakan hukum terhadap korporasi yang terbukti melanggar.

Tanpa penegakan hukum, dia mengatakan perbaikan tata kelola sawit akan percuma karena pelanggaran akan terus berulang.

Meski berharap ada perbaikan tata kelola sawit, Ganda Mora dan Mansuetus Darto sependapat meragukan bahwa penegakan hukum akan dilakukan secara tegas.

Sebab selama ini, penegakan hukum berdasarkan evaluasi maupun hasil audit terkait perusahaan sawit yang bermasalah dianggap "sangat lemah".

Darto mencontohkan ketika Badan Pengawas Keuangan [BPK] menerbitkan laporan hasil audit yang menunjukkan bahwa banyak perkebunan sawit yang dikelola perusahaan besar bermasalah pada Agustus 2019 lalu.

Tidak lama setelah itu, Menko Luhut juga menyatakan bahwa sekitar 81% perkebunan sawit tidak mematuhi aturan yang berlaku.

Namun Darto mengatakan "tidak ada" tindak lanjut yang jelas dari temuan tersebut.

Begitu pula ketika pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden mengenai moratorium izin sawit pada 2018 yang memerintahkan dilakukan evaluasi izin perkebunan sawit. Tetapi sampai moratorium itu berakhir pada Oktober 2021 yang lalu, evaluasi izin dianggap "belum berjalan baik".

"Hasil moratorium itu seharusnya kan bagian dari audit juga, tapi enggak ada hasilnya. Tidak berjalan sama sekali sesuai yang diperintahkan. Begitu juga temuan BPK semestinya ada penegakan hukum selanjutnya. Polisi dan kejaksaan juga harus mulai terbuka terkait ini," ujar Darto.

Sementara itu, Ganda Mora dari Yayasan SALAMBA menuturkan bahwa pemerintah selama ini "tidak pernah menjalankan" kewajiban untuk mengaudit perkebunan sawit, meski ada regulasi yang memungkinkannya, seperti Peraturan Menteri Pertanian tentang Penilaian Usaha Perkebunan.

Desakan untuk melakukan audit ini juga telah digaungkan sejak lama, tetapi baru pada sengkarut minyak goreng pemerintah akhirnya memiliki keinginan untuk mengaudit perusahaan sawit.

"Saya masih meragukan pemerintah bisa menyelesaikan ini. Saya juga belum dapat semacam optimisme pemerintah pasca-audit nanti mau masuk ke penegakan hukum. Dalam kasus minyak goreng misalnya, yang ditindak Kejaksaan Agung baru pemain level menengah," kata dia.

"Kalau diaudit keseluruhan, yang akan muncul adalah kejahatan korporasinya. Pertanyaannya apakah aparat penegak hukum kita mau berhadapan dengan para pemain atas itu?"

Tetapi satu sisinya, Ganda menyebut, ketegasan pemerintahan Presiden Joko Widodo diacungkan jempol, dimana ada upaya penertiban lahan di kawasan hutan yang harus membayar kewajiban dan tidak hanya merambah lalu menikmati hasil.

"Harus ada sanksi berupa administratif dengan membayar denda berlaku mundur dan cukup hanya satu periode," sebutnya.

"Sedangkan untuk pembukaan lahan pasca UU Cipta Kerja (CK) harus ditindak tegas secara pidana bukan perdata agar tidak ada lagi pembukaan lahan baru di kawasan hutan, terutama kawasan konservasi," sambungnya. 

Penegakan hukum diragukan 

Selain itu, memberikan acungan jembol, Ganda Mora menilai, seharusnya presiden punya sensitivitas, jangan ada konflik kepentingan dan harus jadi pertimbangan.

Merespon temuan KPK terkait satu juta hektar sawit ilegal di Riau, SALAMBA menilai agar Gubernur Riau Syamsuar segera tertibkan perusahaan sawit ilegal ini.

"Gubernur Riau Syamsuar, dukung KPK RI segera tertibkan perusahaan sawit ilegal."

"Kebun-kebun sawit yang dikuasai oleh perusahaan secara ilegal ini punya dampak yang sangat buruk terhadap upaya perbaikan tata kelola hutan,” katanya.

SALAMBA sangat mendukung inisiatif dari KPK dan DPRD yang mendesak agar Pemprov Riau segera menertibkan perusahaan sawit tanpa izin di Riau.

Menurutnya, upaya penertiban tersebut dapat dilakukan melalui pendataan ulang perusahaan tanpa izin yang menguasai lahan di Riau dan pemberian sanksi terhadap perusahaan yang terbukti membuka lahan sawit tanpa izin.

“Jadi Gubernur Riau, tidak perlu ragu karena upaya penertiban ini didukung oleh KPK, DPRD dan warga masyarakat, ini juga salah satu langkah pembenahan tata kelola sawit di Riau menuju Konsep Riau Hijau yang di gadangkan oleh Gubernur,” jelas Ganda.

Sebelumnya, Wakil Pimpinan KPK, Alexander Marwata menyatakan, dalam catatan pihaknya ada 1 juta hektar perkebunan sawit mengokupasi areal hutan dijadikan perkebunan kelapa sawit.

"Selain dikuasai masyarakat, paling besar dikuasai perusahaan tanpa izin,” kata Alexander Marwata.

Bukan hanya mengeruk kekayaan bumi dan menimbulkan banyak kerusakan hutan, perusahaan-perusahaan tersebut juga tidak pernah membayar pajak kepada negara selama menguasai hutan.

Hal ini diketahui dari banyaknya perusahaan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak [NPWP].

Begitupun Panitia khusus [Pansus] monitoring lahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] Riau pernah melaporkan 190 perusahaan kelapa sawit terbukti tidak memiliki izin dasar perkebunan dan NPWP.

Pansus menghitung, dari potensi pajak perkebunan sawit di Provinsi Riau yang mencapai Rp 24 triliun, baru Rp 9 triliun yang mengalir ke kas Negara.

Pengusaha 'siap' diaudit

Sekretaris Jenderal GAPKI, Eddy Martono, menuturkan para pengusaha "siap" untuk diaudit dan mendukung rencana pemerintah tersebut.

"Kami sangat mendukung audit ini, supaya jelas datanya berapa sebenarnya produksi CPO. Selama ini kan belum jelas. Jadi untuk mengambil kebijakan ke depannya dasar datanya juga jelas," kata Eddy.

Menurut dia, hasil audit justru akan "melindungi" perusahaan dan memberikan kepastian hukum terkait sengketa lahan perkebunan.

"Contoh perusahaan masuk dalam kawasan hutan kan belum tentu salah perusahaan. Pada waktu minta izin dikeluarkan belum kawasan hutan, tahu-tahu berubah jadi kawasan hutan. Itu namanya keterlanjuran," tutur Eddy.

"Atau pemerintah daerah mengeluarkan izin, tahu-tahu pemerintah pusat beda lagi. Itu makanya kita berharap audit berjalan baik sehingga tidak ada perbedaan data antara pusat dan daerah."

"Jadi tidak hanya asal 'wah ini perusahaan ini nyerobot', tapi kan semua sudah clear izinnya tahun berapa HGU-nya keluar tahun berapa. Justru dengan adanya audit ini akan lebih jelas, perusahaan malah seharusnya lebih terlindungi dengan adanya audit ini," kata dia.

Terkait perusahaan-perusahaan sawit yang disebut Luhut berkantor di luar negeri dan "membayar pajaknya di luar negeri", Eddy mengatakan "perusahaan tidak mungkin tidak membayar pajak, karena pengurusan izin dan untuk mendapatkan HGU perusahaan harus berdiri di Indonesia".

Sementara itu, Daniel Johan mengatakan Komisi IV DPR akan segera menggelar rapat kerja dengan pemerintah untuk membahas mekanisme dari audit ini.

Dia berjanji DPR akan mengawal pelaksanaan audit agar transparan dan hasilnya ditindaklanjuti secara transparan.

"Termasuk kita tanya nanti hasil auditnya mau diapain sebagai dasar melakukan kebijakan yang tegas. Misalkan kalau perusahaan melebihi izin yang seharusnya diambil, itu harus disita negara misalkan dan dikembalikan ke masyarakat lokal. Yang melanggar kita cabut saja izinnya," papar Daniel.

Luhut tegur bos sawit nakal

Di lain pihak Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dengan tegas mengatakan bahwa pemerintah akan menindak tegas para pelaku usaha yang tidak menghiraukan segala upaya yang tengah ditempuh pemerintah untuk memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit.

"Saya ulangi, pemerintah akan menindak tegas para pelaku usaha yang tidak menghiraukan segala upaya yang tengah ditempuh pemerintah untuk memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit," tegasnya dalam Konferensi Pers Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit di kantor Kemenko Marves, Jakarta, Jumat (23/6).

Untuk informasi, sebagai upaya mengelola industri kelapa sawit, pemerintah telah membentuk satuan tugas [Satgas] sawit yang melibatkan banyak Kementerian dan Lembaga, diantaranya oleh Kementerian Koordinator, termasuk Kementerian Politik Hukum dan Ham, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], Kementerian Pertanian [Kementan], Kementerian ATR/BPN, Kementerian Dalam Negeri [Kemendagri], Aparat Penegak Hukum, Kejaksaan Agung, hingga BPKP.

Luhut mengatakan, Satgas Sawit memiliki hak untuk melakukan tes pemanggilan, dan Satgas Sawit akan dengan tegas memanggil perusahaan-perusahaan yang dianggap mencurigakan sesuai dengan data yang dimiliki Satgas Sawit.

"Di mana perusahaan-perusahaan akan dipanggil, untuk mengkonfirmasi kesesuaian perizinan dengan lahan sawit yang dimiliki, sehingga dengan demikian kedepannya kita akan memiliki data yang lengkap dan orang akan bayar pajak dengan benar," kata Luhut.

Luhut berharap dengan terbentuknya Satgas sawit ini nantinya semua pelaku usaha diharapkan dapat tertib dan memberikan data sebenar-benarnya, serta disiplin dalam melaporkan kondisinya.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dengan tegas mengatakan bahwa pemerintah akan menindak tegas para pelaku usaha yang tidak menghiraukan segala upaya yang tengah ditempuh pemerintah untuk memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit.

Lebih lanjut, Luhut menyampaikan bahwa Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan [BPKP] telah menemukan beberapa temuan pada saat terjadinya kelangkaan minyak goreng curah pada awal tahun 2022 lalu.

Setelah dilakukan audit secara menyeluruh, setidaknya BPKP menemukan beberapa temuan, mulai dari masalah perizinan lahan, kebun plasma, kapasitas produksi, hingga produk turunan CPO.

Rakyat dikelilingi kebun sawit.

"Pada awal tahun 2022 yang lalu kita telah tahu bahwa terjadi kelangkaan migor curah yang terjadi di pasar. Kelangkaan terjadi karena ditemukan beberapa dampak dengan kerugian banyak masyarakat, hal ini lah kemudian saya membuat langkah awal dengan meminta kepada BPKP untuk melakukan audit kepada seluruh industri kelapa sawit secara keseluruhan dari hulu hingga ke hilir," ujarnya.

Dari hasil audit, lanjutnya, juga banyak ditemukan perusahaan yang belum memiliki izin, seperti izin lokasi, izin usaha perkebunan, dan hak guna usaha ke depan.

Untuk itu, satgas akan mendorong setiap pelaku usaha berkewajiban untuk melengkapi izin-izin yang diperlukan sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan yang berlaku.

"Satgas hari ini dengan tegas menghimbau agar semua pelaku usaha melakukan pelaporan mandiri, self reporting atas kondisi lahan perkebunan disertai bukti izin usaha yang dimiliki. Dalam waktu dekat satgas akan memulai proses self reporting dari perusahaan koperasi dan rakyat, karena kami sudah punya citra satelit dan drone, sehingga kita minta dilaporin secara mandiri, tapi kita juga punya cara nanti untuk melakukan random cek kepada laporan tersebut," jelasnya. (*)

Tags : Topik terkait, Hutan, Ekonomi, Pertanian, Indonesia, Sawit, Lingkungan,