Sorotan   2023/09/21 11:39 WIB

Virus Nipah 'Penyakit Zoonosis' Ditularkan dari Lingkungan Hewan Liar, 'yang Sudah jadi Ancaman Pandemi Berikutnya'

Virus Nipah 'Penyakit Zoonosis' Ditularkan dari Lingkungan Hewan Liar, 'yang Sudah jadi Ancaman Pandemi Berikutnya'
Tim Duong sedang mencari pendanaan untuk proyek deteksi patogen mereka berikutnya.

"Infeksi virus Nipah adalah penyakit zoonosis yang ditularkan dari hewan seperti babi dan kelelawar buah ke manusia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)"

egara bagian Kerala di India selatan telah meningkatkan pemeriksaan dan penelusuran kontak menyusul dua kasus kematian baru-baru ini. Virus Nipah diduga menjadi biang keladinya.

Semua kasus dilaporkan terjadi di Distrik Kozhikode di Kerala utara.

Salah satu kasus kematian terjadi pada awal bulan ini, sementara yang lainnya terjadi pada 30 Agustus.

Sekolah-sekolah dan kantor-kantor di sebagian negara bagian yang terdampak, telah ditutup, seiring upaya otoritas setempat menghentikan penyebarannya. 

Infeksi virus Nipah adalah "penyakit zoonosis" yang ditularkan dari hewan seperti babi dan kelelawar buah ke manusia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Virus ini juga dapat ditularkan melalui makanan yang terkontaminasi, dan melalui kontak dengan orang yang terinfeksi.

Wabahnya terjadi hampir setiap tahun di beberapa negara Asia, terutama Bangladesh dan India.

Konsumsi buah-buahan atau produk buah [seperti jus kurma mentah] yang terkontaminasi air seni atau air liur kelelawar buah yang terinfeksi adalah sumber yang paling mungkin untuk infeksi di masa lalu.

Virus Nipah masuk dalam daftar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) - bersama dengan Ebola, Zika, dan Covid-19 - sebagai salah satu dari beberapa penyakit yang layak mendapatkan prioritas penelitian, karena potensinya bisa menyebabkan epidemi global.

Gejala virus Nipah pada manusia mulai dari yang tidak bergejala hingga infeksi saluran pernapasan akut (ringan, berat), sampai ensefalitis (pembengkakan otak) yang fatal.

Orang yang terinfeksi sering kali mengalami gejala-gejala yang meliputi demam, sakit kepala, mialgia (nyeri otot), muntah, dan sakit tenggorokan.

Hal ini dapat diikuti dengan pusing, mengantuk, kesadaran yang berubah, dan tanda-tanda neurologis yang mengindikasikan radang otak (Ensefalitis) akut. 

Beberapa orang juga dapat mengalami pneumonia atipikal dan masalah pernapasan yang parah, termasuk gangguan pernapasan akut.

Ensefalitis dan kejang terjadi pada kasus yang parah, dapat berkembang menjadi koma dalam waktu 24 hingga 48 jam. 

Masa inkubasi (interval dari infeksi hingga timbulnya gejala) diyakini berkisar antara empat hingga 14 hari. Namun, kasus masa inkubasi selama 45 hari pernah terjadi.

Nipah membunuh hingga 75% dari mereka yang terinfeksi.

'Belum ada vaksin atau pengobatannya'

Penanganannya masih terbatas dalam mengatasi gejala dan perawatan intensif.

Wabah Nipah pertama menewaskan lebih dari 100 orang di Malaysia dan mendorong pemusnahan satu juta ekor babi sebagai upaya untuk membasmi virus tersebut.

Virus ini dinamai sesuai dengan nama desa tempat virus ini pertama kali ditemukan pada tahun 1999.

Virus ini juga menyebar ke Singapura. Di negara ini terdapat 11 kasus, dan satu kematian di antara para pekerja rumah jagal yang bersentuhan dengan babi-babi yang diimpor dari Malaysia.

Bangladesh juga memikul wabah ini dalam beberapa tahun terakhir, dengan lebih dari 100 orang meninggal akibat Nipah sejak 2001.

Secara berkala, penyakit ini juga terdeteksi di India, dan ini adalah wabah keempat di Kerala sejak tahun 2018.

Negara bagian ini telah berhasil membasmi wabah sebelumnya dalam hitungan minggu melalui tes luas dan isolasi yang ketat terhadap mereka yang pernah melakukan kontak dengan pasien.

Tempat-tempat lain yang berisiko terinfeksi termasuk Kamboja, Ghana, Indonesia, Madagaskar, Filipina, dan Thailand, menurut WHO, karena bukti-bukti virus telah ditemukan pada kelelawar di negara-negara ini. 

Virus Nipah ancaman pandemi berikutnya di Asia

Virus Nipah (hijau) dilihat melalui mikroskop elektron. 

Dunia berfokus pada Covid-19, para ilmuwan bekerja keras untuk memastikan virus Nipah tidak menyebabkan pandemi berikutnya. Tingkat kematian untuk virus Nipah mencapai 75% dan belum ada vaksin.

Pada Januari 2020, Supaporn Wacharapluesadee menjadi salah satu peneliti yang ditunjuk pemerintah Thailand untuk menganalisis sampel dari penumpang pesawat yang baru tiba dari Wuhan.

Ia dan timnya berhasil mendeteksi kasus pertama Covid-19 di luar China. Sekarang, sementara dunia disibukkan dengan wabah itu, Wacharapluesadee memantau ancaman yang berpotensi menjadi pandemi berikutnya.

Wacharapluesadee adalah pemburu virus kelas wahid. Ia memimpin Thai Red Cross Emerging Infectious Disease-Health Science Centre, lembaga penelitian yang meneliti penyakit-penyakit infeksi baru (emerging), di Bangkok.

Selama 10 tahun terakhir, ia menjadi bagian dari Predict, ikhtiar global untuk mendeteksi dan menghentikan penyakit yang dapat melompat dari hewan ke manusia.

Ketika mendeteksi Covid-19, Wacharapluesadee dan timnya mendapati bahwa - selain merupakan virus baru yang tidak berasal dari manusia - virus tersebut berkerabat dekat dengan jenis virus corona yang telah ditemukan pada kelelawar.

Sepanjang kariernya, Wacharapluesadee dan para koleganya telah meneliti ribuan sampel kelelawar dan menemukan banyak virus baru.

Sebagian besarnya adalah virus corona, tapi juga ada banyak penyakit mematikan lain yang dapat menular ke manusia.

Salah satunya adalah virus Nipah. Virus ini dibawa oleh kelelawar buah, yang merupakan inang alaminya.

"Ini sangat mengkhawatirkan karena belum ada obatnya... dan tingkat kematian yang disebabkan virus ini tinggi," kata Wacharapluesadee.

Tingkat kematian virus Nipah berkisar antara 40 hingga 75 persen, tergantung lokasi terjadinya wabah.

Seberapa serius ancamannya?

Bukan cuma Wacharapluesadee yang khawatir. Setiap tahun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meninjau daftar panjang patogen yang dapat menyebabkan darurat kesehatan masyarakat untuk memutuskan prioritas anggaran riset dan pengembangan mereka.

Mereka fokus pada patogen yang paling mengancam kesehatan manusia, yang berpotensi menjadi pandemi, dan yang belum ada vaksinnya.

Virus Nipah masuk di 10 besar. Dan, dengan sejumlah wabah sudah terjadi di Asia, kemungkinan besar kita masih akan menemuinya di masa depan.

Ada beberapa alasan yang membuat virus Nipah begitu mengancam. Periode inkubasinya yang lama (dilaporkan hingga 45 hari, dalam satu kasus) berarti ada banyak kesempatan bagi inang yang terinfeksi, tidak menyadari bahwa mereka sakit, untuk menyebarkannya.

Ia bahkan dapat menginfeksi banyak jenis hewan, menambah kemungkinan penyebarannya. Dan ia dapat menular baik melalui kontak langsung maupun konsumsi makanan yang terkontaminasi.

Seseorang yang terinfeksi virus Nipah dapat mengalami gejala-gejala pernapasan termasuk batuk, sakit tenggorokan, meriang dan lesu, dan ensefalitis, pembengkakan otak yang dapat menyebabkan kejang-kejang dan kematian. Singkatnya, ini adalah penyakit yang sangat berbahaya bila tersebar.

Manusia dapat terpapar virus Nipah melalui kontak dengan kelelawar. Setiap interaksi manusia dengan kelelawar dapat dianggap sebagai "interaksi berisiko tinggi".

Menurut Veasna Duong, kepala unit virologi di laboratorium penelitian Institut Pasteur di Phnom Penh dan kolega Wacharapluesadee. Itu berarti, lompatan penyakit ke manusia sangatlah mungkin.

"Paparan seperti ini dapat menyebabkan virus bermutasi, yang dapat menyebabkan pandemi," kata Duong.

Misalnya di pasar Battambang, kota di Sungai Sangkae di barat laut Kamboja. Ribuan kelelawar buah hinggap di pepohonan sekitar pasar, berak, dan kencing pada apapun yang lewat di bawahnya.

Bila diamati dari dekat, atap kios-kios di pasar penuh dengan tahi kelelawar.

"Manusia dan anjing liar berjalan di bawah sarang-sarang, terpapar urine kelelawar setiap hari," kata Duong.

Kontak manusia dengan kelelawar juga ditemukan di berbagai tempat lainnya.

"Kami mengamati [kelelawar buah] di sini dan di Thailand, di pasar-pasar, tempat ibadah, sekolah, dan lokasi turis seperti Angkor Wat - ada sarang besar kelelawar di sana," ujarnya.

Angkor Wat biasa dikunjungi 2,6 juta orang setiap tahun; berarti 2,6 juta kesempatan bagi virus Nipah untuk melompat dari kelelawar ke manusia setiap tahun, hanya di satu lokasi.

Dari 2013 hingga 2016, Duong dan timnya meluncurkan program pemantauan GPS untuk memahami kelelawar buah dan virus Nipah, dan membandingkan aktivitas kelelawar Kamboja ke kelelawar lain di wilayah-wilayah 'hotspot' lainnya.

Di antara wilayah-wilayah ini adalah Bangladesh dan India. Kedua negara pernah mengalami wabah virus Nipah, yang kemungkinan besar terkait dengan kebiasaan meminum jus kurma.

Pada malam hari, kelelawar yang terinfeksi terbang ke perkebunan kurma dan menghisap sari buahnya saat keluar dari pohon.

Saat mereka makan, mereka biasanya kencing di pot pengumpulan. Warga setempat yang tidak tahu apa-apa membeli jus dari pedagang keesokan harinya, meminumnya dan terinfeksi oleh virus Nipah.

Dalam 11 wabah di Bangladesh dari 2001 hingga 2011, 196 orang dikonfirmasi terinfeksi Nipah - 150 orang meninggal dunia.

Jus kurma juga populer di Kamboja, tempat Duong dan timnya menemukan bahwa kelelawar buah di Kamboja terbang jauh - sampai 100 kilometer setiap malam - untuk menemukan buah.

Ini berarti masyarakat di wilayah ini perlu menyadari bahwa mereka tidak hanya dekat dengan kelelawar tapi juga mungkin mengonsumsi produk yang terkontaminasi olehnya.

Duong dan timnya juga mengidentifikasi situasi berisiko tinggi lainnya. Tahi kelelawar (disebut guano) populer sebagai bahan pupuk di Kamboja dan Thailand, dan di wilayah pedesaan yang minim lapangan pekerjaan, tahi kelelawar bisa jadi cara mencari nafkah.

Duong mengidentifikasi banyak lokasi tempat warga setempat secara aktif mendorong kelelawar buah, yang juga dikenal sebagai rubah terbang, untuk berak di dekat rumah supaya mereka dapat mengumpulkan dan menjual guano.

Namun banyak pengumpul guano tidak memahami risiko yang mereka hadapi dalam melakukan pekerjaan itu.

"Enam puluh persen orang yang kami wawancarai tidak tahu bahwa kelelawar dapat menularkan penyakit. Pengetahuan mereka masih kurang," kata Duong.

Ia percaya bahwa edukasi warga setempat akan ancaman yang dibawa kelelawar perlu dilakukan.

Tapi barangkali tidak semudah itu. Menghindari kontak dengan kelelawar barangkali gampang dilakukan di masa lalu dalam sejarah manusia, namun seiring populasi manusia bertambah, kita mengubah planet ini dan menghancurkan habitat alam untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya. Perbuatan ini mempercepat penyebaran penyakit.

"Penyebaran patogen [zoonotik] ini dan risiko transmisi bertambah cepat dengan... perubahan penggunaan lahan seperti penggundulan hutan, urbanisasi, dan intensifikasi pertanian," tulis Rebekah J White dan Orly Razgour dalam telaah tentang penyakit zoonotik emerging yang diterbitkan Universitas Exeter pada 2020.

Sebanyak 60% populasi dunia tinggal di Asia dan wilayah Pasifik, sementara urbanisasi terus berlangsung dengan cepat. Menurut Bank Dunia, hampir 200 juta orang pindah ke wilayah perkotaan di Asia Timur antara tahun 2000 dan 2010.

Kerusakan habitat kelelawar telah menyebabkan infeksi Nipah di masa lalu. Pada tahun 1998, wabah virus Nipah di Malaysia menewaskan lebih dari 100 orang.

Para peneliti menyimpulkan bahwa kebakaran hutan dan kekeringan telah mengusir kelelawar dari habitat aslinya dan memaksa mereka untuk mencari buah-buahan di pepohonan yang tumbuh di peternakan babi.

Di bawah tekanan, kelelawar dapat melepaskan lebih banyak virus. Akibat dipaksa untuk pindah, plus kontak dekat dengan spesies yang biasanya tidak berinteraksi dengan mereka, virus dapat melompat dari kelelawar ke babi, dan seterusnya ke peternak.

Sementara Asia adalah rumah bagi hampir 15% hutan tropis dunia, kawasan ini juga dilanda masalah deforestasi.

Asia menjadi salah satu benua di dunia yang paling banyak kehilangan keanekaragaman hayati. Sebagian besarnya akibat perusakan hutan untuk dijadikan perkebunan seperti kelapa sawit, tapi juga untuk area permukiman dan peternakan.

Kelelawar buah biasanya tinggal di kawasan hutan lebat dengan banyak pohon buah-buahan sebagai sumber makanan mereka.

Ketika habitat mereka dihancurkan atau dirusak, mereka mencari tempat baru untuk bertengger - seperti di atap rumah, atau menara Angkor Wat.

"Kerusakan habitat kelelawar serta gangguan manusia melalui perburuan membuat rubah terbang harus mencari tempat alternatif untuk bertengger," kata Duong.

Kemungkinan besar kelelawar yang dipantau oleh tim Duong terbang hingga 100 kilometer setiap malam untuk mencari buah-buahan karena habitat alami mereka sudah tidak ada lagi.

Namun kelelawar, kita ketahui sekarang, membawa berbagai penyakit berbahaya - tak cuma Nipah dan Covid-19, tetapi juga Ebola dan Sars.

Kalau begitu, perlukah kita membasmi kelelawar? Tidak, kecuali kita ingin memperburuk keadaan, kata Tracey Goldstein, direktur Laboratorium One Health Institute dan laboratorium Proyek Prediktik.

"Kelelawar memainkan peran ekologis yang sangat penting," ujarnya.

Kelelawar menyerbuki lebih dari 500 spesies tanaman. Mereka juga membantu mengendalikan populasi serangga - peran yang sangat penting dalam mengendalikan penyakit pada manusia dengan, misalnya, mengurangi risiko malaria dengan memakan nyamuk-nyamuk yang menjadi vektornya, kata Goldstein.

"Mereka memainkan peran yang sangat penting dalam kesehatan manusia."

Dia juga menekankan bahwa memusnahkan kelelawar telah terbukti merugikan dari sudut pandang penyakit.

"Yang dilakukan suatu populasi saat Anda mengurangi jumlahnya ialah membuat lebih banyak anak - itu akan membuat [manusia] lebih rentan. Dengan membunuh hewan, Anda meningkatkan risikonya, karena Anda meningkatkan jumlah hewan yang menyebarkan virus," ujarnya.

Meskipun Duong dan timnya telah menemukan banyak jawaban, selalu muncul lebih banyak pertanyaan.

Di antaranya: mengapa Kamboja belum mengalami wabah virus Nipah, mengingat semua faktor risikonya?

Apakah ini hanya soal waktu, ataukah kelelawar buah Kamboja sedikit berbeda dengan kelelawar buah Malaysia, misalnya?

Apakah virus di Kamboja berbeda dengan Malaysia?

Apakah cara manusia berinteraksi dengan kelelawar berbeda di setiap negara?

Tim Duong sedang bekerja untuk mencari tahu jawabannya, tetapi sejauh ini mereka belum mengetahuinya.

Tentu saja, tim Duong tidak sendirian dalam berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

Perburuan virus adalah upaya kolaboratif global besar-besaran, dengan para ilmuwan, dokter hewan, pelestari alam, dan bahkan ilmuwan warga bekerja sama untuk memahami penyakit yang kita hadapi dan cara mencegah wabah.

Ketika Duong mengambil sampel kelelawar dan menemukan virus Nipah, dia mengirimnya ke David Williams, kepala Kelompok Diagnosis Laboratorium Penyakit Darurat di Pusat Kesiapsiagaan Penyakit Australia.

Karena virus Nipah sangat berbahaya - pemerintah di seluruh dunia menganggapnya berpotensi digunakan untuk bioterorisme - hanya segelintir laboratorium di seluruh dunia yang diizinkan untuk membudidayakan, menumbuhkan, dan menyimpannya.

Lab Williams adalah salah satunya. Timnya terdiri dari beberapa pakar virus Nipah terkemuka di dunia, dengan akses ke berbagai alat diagnostik yang tidak tersedia di banyak laboratorium.

Mengenakan pakaian kedap udara, mereka dapat menumbuhkan lebih banyak virus yang sangat berbahaya itu dari sedikit sampel dan kemudian menjalankan tes untuk memahami bagaimana virus berkembang biak, menular, dan menyebabkan penyakit.

Saya bertanya kepada Williams apakah membangun lebih banyak laboratorium dengan tingkat keamanan tinggi seperti miliknya dapat mempercepat deteksi penyakit berbahaya di seluruh dunia.

"Kemungkinan ya, dengan menempatkan lebih banyak laboratorium di tempat-tempat seperti Kamboja, itu dapat mempercepat karakterisasi dan diagnosis virus ini," jawabnya.

"Namun, ongkos pembangunan dan perawatannya mahal. Seringkali itulah elemen pembatasnya."

Pendanaan untuk pekerjaan yang dilakukan Duong dan Wacharapluesadee memang tidak selalu lancar.

Program Predict yang berlangsung selama 10 tahun tidak diteruskan oleh pemerintahan Trump, meskipun Presiden terpilih AS Joe Biden telah berjanji untuk memulihkannya.

Sementara itu, Wacharapluesadee beru mendapat anggaran untuk prakarsa baru yang disebut Thai Virome Project, kolaborasi antara timnya dan Departemen Taman Nasional, Margasatwa, dan Konservasi Tanaman di Thailand.

Ini memungkinkannya untuk mengambil lebih banyak sampel dari kelelawar dan berbagai satwa liar untuk memahami penyakit yang mereka bawa dan ancamannya bagi kesehatan manusia.

Duong dan timnya sedang mencari dana untuk penelitian deteksi patogen mereka berikutnya - salah satunya untuk mendukung pengawasan berkelanjutan terhadap kelelawar di Kamboja dan memahami apakah sejauh ini telah ada infeksi pada manusia yang belum dilaporkan.

Mereka belum berhasil mendapatkan dana untuk melanjutkan penelitian tentang virus Nipah. Tanpa itu, kata mereka, wabah yang berpotensi bencana lebih mungkin terjadi.

"Pengawasan jangka panjang membantu kami ... menginformasikan pihak berwenang [untuk memberlakukan] tindakan pencegahan dan mencegah limpahan yang tidak terdeteksi yang akan menyebabkan wabah yang lebih besar," kata Duong.

Dan tanpa pelatihan yang memadai, para ilmuwan mungkin tidak dapat mengidentifikasi dan mengkarakterisasi virus baru dengan cepat, seperti yang dilakukan Wacharapluesadee dengan Covid-19 di Thailand. Informasi ini diperlukan untuk segera mengembangkan vaksin.

Duong dan Wacharapluesadee berharap dapat terus berkolaborasi untuk memerangi virus Nipah di Asia Tenggara, dan keduanya telah menyusun proposal untuk pengawasan virus Nipah di wilayah tersebut.

Mereka berencana untuk menyerahkannya ke Defense Threat Reduction Agency, organisasi pemerintah AS yang mendanai penelitian tentang agen penyakit menular, setelah krisis Covid-19 mereda.

Apakah virus Nipah sudah ada di Indonesia?

Pemerintah Indonesia sendiri telah “meningkatkan kewaspadaan” terhadap virus Nipah, menyusul temuan lima kasus di negara bagian Kerala, India, yang menyebabkan kematian dua orang.

Langkah kewaspadaan itu mencakup pemantauan di pintu masuk negara serta di dalam negeri apakah ada kasus sakit atau kematian dalam jumlah banyak dan secara tiba-tiba, kata seorang juru bicara Kementerian Kesehatan.

Nipah adalah salah satu virus yang dikhawatirkan akan menjadi pandemi berikutnya.

Indonesia termasuk negara yang berisiko terinfeksi, menurut WHO, karena bukti-bukti virus telah ditemukan pada kelelawar di sini.

Namun, sejauh ini belum ditemukan kasus infeksi virus Nipah pada manusia maupun hewan ternak.

Seorang mantan pejabat WHO mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan dengan virus Nipah selagi pemerintah di Kerala berusaha menangani wabah tersebut pada sumbernya.

Virus Nipah dinamai berdasarkan nama desa di Malaysia tempat virus ini pertama kali ditemukan pada tahun 1999.

Wabah pertama menewaskan lebih dari 100 orang dan mendorong pemusnahan satu juta ekor babi sebagai upaya untuk membasmi virus tersebut.

Kasus virus ini juga pernah ditemukan di Singapura, Bangladesh, dan secara berkala terdeteksi di India.

Penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Veteriner – sekarang Pusat Riset Veteriner BRIN – dan dipublikasikan pada 2013 menemukan materi genetik virus tersebut di spesies kelelawar Pteropus vampyrus di Sumatera.

Lebih jauh, materi genetik virus Nipah yang ditemukan di Sumatera sangat mirip dengan yang ditemukan di Malaysia sehingga ada kemungkinan kelelawar P. vampyrus yang membawa virus ini terbang melintasi perbatasan negara.

Sebelumnya, survei serologi terhadap 610 babi dan 99 kelelawar di Kalimantan Barat tidak menemukan paparan virus Nipah pada babi namun menemukan antibodi virus Nipah pada 19% dari 84 sampel kelelawar P. vampyrus.

Meski begitu, hingga saat ini belum ditemukan kasus virus Nipah pada manusia maupun hewan ternak di Indonesia.

“Materi genetiknya saja yang ketemu jadi tidak virus utuhnya. Itu pun kemudian kita lakukan lagi surveilans di Sulawesi, di mana beberapa itu juga negatif,” kata Prof. Indi Dharmayanti, kepala Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama menjelaskan penemuan materi genetik virus pada hewan belum tertentu berkembang jadi epidemi pada manusia.

Itu tergantung pada seberapa banyak hewan yang terkena dan seberapa besar potensi menularnya ke manusia, imbuhnya.

“Yang penting adalah kalau sudah ditemukan pada binatang, melakukan kegiatan yang namanya One Health – kegiatan bersama antara kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan,” ujarnya.

Prof. Tjandra menilai terlalu dini bila kasus Nipah di Kerala dihubungkan dengan kemungkinan virus tersebut menyebar ke luar negeri, termasuk Indonesia.

“Biarlah pemerintah Kerala meng-contain at the source (menangani pada sumbernya) sehingga mudah-mudahan tidak menyebar,” ujarnya.

Wabah terbaru di Kerala adalah yang keempat sejak tahun 2018. Negara bagian itu berhasil membasmi wabah sebelumnya dalam hitungan minggu melalui pengetesan secara luas dan isolasi yang ketat terhadap mereka yang pernah berkontak dengan pasien.

Prof. Tjandra memahami bahwa kesadaran masyarakat akan pandemi meningkat setelah melalui Covid-19. Namun demikian, dia tetap berharap masyarakat tidak menjadi paranoid dengan temuan kasus virus Nipah di India.

Epidemiolog Universitas YARSI itu sepakat bahwa Indonesia berisiko terinfeksi virus Nipah karena lokasinya dekat dengan Malaysia, tempat virus tersebut pertama kali ditemukan, namun “enggak bisa dengan begitu mengatakan pasti ada virus Nipah di Indonesia”.

Akankah virus Nipah menjadi pandemi?

WHO telah mengatakan ada tiga penyakit yang kemungkinan akan menjadi pandemi berikutnya — influenza, zoonosis atau penyakit yang ditularkan hewan ke manusia (termasuk virus Nipah), dan yang disebut dengan Disease X atau patogen yang belum diketahui.

Bagaimanapun menurut Prof. Tjandra, terlalu cepat untuk mengatakan suatu penyakit akan menjadi pandemi berikutnya hanya karena terjadi di satu tempat.

Dia menjelaskan tahapan-tahapan sebelum penyakit dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO. Wabah penyakit menular yang berpotensi mengkhawatirkan biasanya masuk dalam Disease Outbreak News (DONS) WHO.

Jika situasinya semakin berat, statusnya akan berkembang menjadi public health emergency of international concern (darurat kesehatan masyarakat yang perlu diperhatikan secara internasional). Jika jadi lebih berat lagi, baru ia akan dinyatakan sebagai pandemi.

Tetapi tidak semua penyakit yang mendapat status public health emergency of international concern berakhir jadi pandemi, jelas Prof. Tjandra. Contohnya virus Zika yang disebarkan oleh nyamuk dan bukti-buktinya pernah ditemukan di Indonesia.

“Sekali lagi, [kasus Nipah] yang di India saat ini belum masuk DONS,” dia menekankan.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah memahami bahwa Indonesia berisiko tinggi mengalami kejadian luar biasa (KLB) virus Nipah, mengingat letak geografisnya yang berbatasan langsung dengan Malaysia.

Pada 2021, Kemenkes merilis Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Virus Nipah di Indonesia yang menjabarkan prosedur untuk surveilans epidemiologi, pemeriksaan laboratorium, hingga pengendalian faktor risiko.

Peningkatan kasus virus Nipah di Kerala pada 2023 ini menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan, kata Kepala Biro Komunikasi Kemenkes Siti Nadia Tarmizi.

“Jadi begitu kita mendengar ada kasus penyakit nipah di India dan juga di Bangladesh kemudian kita meningkatkan alarm kita, kewaspadaan kita,” ungkapnya.

Langkah-langkah kewaspadaan itu meliputi pengawasan atau surveilans terhadap gejala penyakit dan faktor risiko virus Nipah pada pendatang di pintu-pintu masuk negara.

“Orang-orang yang masuk ke dalam [perbatasan] kita kemudian kita edukasi kalau punya gejala-gejala, apalagi dia punya riwayat berisiko tadi, untuk segera datang ke fasilitas pelayanan kesehatan,” Nadia menjelaskan.

Penguatan surveilans juga dilakukan di dalam negeri dengan memantau apakah terjadi kasus kematian atau sakit dalam jumlah banyak secara tiba-tiba.

Selain memperkuat pengawasan, Kemenkes juga memastikan bahwa petugas di fasilitas kesehatan memahami gejala-gejala pasien yang terinfeksi virus Nipah.

“Karena kita tahu gejala daripada virus nipah ini tidak khas ya — bisa demam, sakit badannya, tapi tiba-tiba terjadi infeksi pernapasan hebat, kejang-kejang, bahkan sampai radang otak yang berakhir pada kematian,” kata Nadia.

Dia menjelaskan pasien yang terinfeksi virus Nipah tidak memerlukan ruangan isolasi khusus. Hanya saja, hingga saat ini penyakit tersebut belum ada obat maupun vaksinnya.

Bagaimanapun epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman menilai surveilans dan deteksi dini penyakit menular di Indonesia masih lemah.

Pemerintah kerap dikritik lamban dalam menangani wabah, misalnya pada kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Covid-19.

Ini membuat beberapa kasus penyakit menular yang ditemukan “ibarat puncak gunung es”, menurut Dicky, sehingga bila terjadi wabah di India atau Bangladesh itu mencerminkan kekhawatiran yang serupa di beberapa wilayah di Indonesia.

Di sisi lain, Dicky mengakui bahwa mendeteksi penyakit seperti virus Nipah ini tidaklah mudah.

“Memang ada PCR tapi kemampuan, alat untuk begitu tidak ada di daerah-daerah kita yang ada di zona merah; dan ini yang akhirnya membuat kita buta, padahal kita ada dalam situasi atau posisi yang rawan,” dia menjelaskan.

Nadia menekankan bahwa Indonesia sudah memiliki sekuensing materi genetik virus Nipah sehingga mampu mendeteksinya dengan PCR.

Dia menjelaskan bahwa surveilans penyakit menular dilakukan dengan memantau tren peningkatan kasus pada manusia maupun pada hewan — untuk hewan liar, ranahnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK); untuk hewan ternak, ranahnya Kementerian Pertanian; dan untuk manusia, ranahnya Kemenkes.

Namun hingga saat ini belum ditemukan kasus infeksi ini. (*)

Tags : Penelitian medis, Vaksin, Kesehatan, Organisasi Kesehatan Dunia, Sains, Virus Corona, Kesehatan,